Oleh: Muhammad Nur Rofiq |
NU Didalam Kontestasi Pilkada
Nahdlatul Ulama (NU) menjadi organisasi terbesar di Indonesia yang pertama dengan presentase 59,2% yang berstatus Nahdlatul Ulama menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Gus Yahya.
Semenjak dideklarasikan 31 Januari 1926 M/16 Rajab 1344 H di Kota Surabaya. NU telah berkhidmat banyak bagi bangsa; baik dibidang sosial, budaya, politik, ekonomi dan khususnya juga bidang keagamaan.
Sesuai dengan rekomendasi Muktamar yang pernah digelar di Kediri, 23 November 1999. Meminta seluruh pengurus NU di segala tingkatan tetap menempatkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan, bukan sebagai partai politik.
NU memiliki sejarah yang sangat panjang dalam merajut ke-Indonesiaan dan didalam mempertahankan NKRI dengan berbagai situasi yang mencekam yang kian hari kian menghantam dari sisi kanan-kiri.
Bagi NU, sudah cukup makan nasi dengan garam, khususnya di dalam menghadapi berbagai perbedaan, rivalitas dan bahkan konflik baik eksternal maupun internal.
Di masa era Orde Baru, NU mengalami situasi dan kondisi yang tidak mudah. Selain mengalami diskriminasi golongan, NU juga mengalami represi dipemerintahan saat itu.
NU juga kerap kali bersebrangan dan menjadi oposisi saat itu. Bahkan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sering mengkritik melalui tulisannya diberbagai media cetak.
Syahwat politik NU memang terus ada. Meskipun secara organisatoris sudah dinyatakan kembali ke Khittah 1926 dalam Muktamar ke-27 yang digelar di Situbondo 12 Desember 1974 dan dipertegas kembali oleh Gus Yahya Ketua PBNU diperiode sekarang.
Akan tetapi...
Keterlibatan NU sangat kentara. Misalnya dukungan terhadap Pilkada dan Pilpres yang di dalamnya terdapat calon dari warga Nahdliyin.
Bahkan banyak yang mendadak langsung menjadi warga Nahdliyin demi mencari simpati dan dukungan demi meraih orang nomor satu ditingkat level bawah sampai atas.
Semua pastilah memiliki syahwat politik yang diyakini sebagai “kebenaran”, menurut persepsinya masing-masing. Bahkan fatwa-fatwa politik yang dikeluarkannya-pun saling berseberangan satu sama lain.
Ada yang berfatwa mendukung calon ini dan sebaliknya. Pesta demokrasi dengan komposisi warna-warni yang menarik ditengah isu Brics yang mau bersaing dengan Dollar.
Hingga timnas Indonesia yang berusaha keras untuk lolos diposisi 3-4 besar kualifikasi Piala Dunia.
Ranah Pesantrenpun juga turut terlibat dalam pengerakan masa. Secara terang-terangan para pengasuh pesantren ikut berkontestasi politik melalui dukungan demi dukungan. Begitupun pimpinan organisasinnya, tergantung MOU 'katanya'.
Semua yang mereka lakukan sesuai "kebenaran" mereka masing-masing. Namun trah sentral itu hilang dimasa sekarang sepeninggal KH Hasyim Asy'ari.
Kalau dulu, masih menggunakan kata Samina wa athona "kami dengar dan patuh." Tidak dengan sekarang!