Tuntutan Jaman: Membuat Fatwa sesuai kondisi

Source gambar: Google
Oleh Idham Badrussalam

Dulu Imam Syafi'i berfatwa di Irak dengan beberapa Fatwa, namun ketika beliau bermigrasi ke Mesir, ternyata lingkungan antara Mesir dan Irak berbeda sehingga mulai mengeluarkan fatwa baru. Sebagai akibatnya beliau mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan rakyat Irak dan fatwa yang sesuai dengan rakyat Mesir. Hal ini menyebabkan banyak orang yang berani mengeluarkan Fatwa serampangan yang hanya sesuai dengan situasi dan kondisi saja, dengan dalih Imam Syafi’i pun melakukan hal itu, berarti secara tidak langsung hal ini merupakan taqlid kepada beliau.

Apakah klaim ini bisa dibenarkan? Hal itu perlu dipikirkan matang-matang, karena belum terbukti bahwa Imam Syafi'i radhiyallahu 'anhu mengeluarka fatwa itu hanya menyesuaikan kondisi dan katakteristik rakyat Irak, dan fatwa lain yang menyesuaikan kondisi dan karakteristik rakyat Mesir. Kenyataannya, yang diajarkan di literatur2 madzhab Syafi'iyah bahwasanya beliau mempunyai dua madzhab: Madzhab Qodim (madzhab berdasarkan ijtihad ketika beliau di Irak) yang diajarkan kepada murid2nya di sana dan mengarang beberapa kitab, kemudian ketika beliau pergi bermigrasi ke Mesir melalui jalur Makkah, kemudian beliau bertemu dengan sejumlah ulama dan para pentransmisi hadits, lalu beliau banyak menarik kembali apa-apa yang telah difatwakan di Irak dan memberikan fatwa baru sebagai tandingannya, kemudian fatwa2 ini terkenal dengan Madzhab Jadid. Pada waktu itu tidak ada istilah madhab Irak dan madzhab  Mesir.
Konon Madzhab Jadid ini sudah terbentuk sebelum beliau meninggalkan Irak menuju Mekah, ada juga yg bilang  sebelum beliau meninggalkan kota Mekah. Tetapi yang jelas beliau menulisnya dan mematenkannya ketika berada di Mesir, jadi kalau dilihat dari aspek historis tidak ada kaitannya dengan Mesir dan Irak beserta penduduk, karakteristik, adat-istiadat dan lingkungannya.
Hal itu bisa dibuktikan dengan beberapa argumentasi yang akan penulis paparkan:

1. Apabila hal itu hanya berupa fatwa yang sesuai dengan karakteristik suatu daerah atau karakteristik dan adat kebiasaan rakyat tersebut, Maka beliau akan membiarkan fatwa2 tersebut berlaku sesuai daerahnya masing-masing, namun kenyataannya tidak, beliau malah memberikan perintah untuk menghapus dan mengharamkan orang untuk meriwayatkan apa-apa yang ditulis atau  difatwakan di Irak. Beliau berkata sebagaimana yang tercantum dalam kitabnya imam Al-Zarkasyi:
(ليس في حلٍّ من روى عني القديم) (البحر المحيط) للزركشي (4/584).

2. Kalaupun benar seperti apa yang mereka klaim maka para Ashab Syafi'i yang ada di Irak akan berfatwa sesuai madzhab Qodim, namun kenyataannya tidak bahkan sebaliknya.

3. Tidak ada satupun dari Para Imam madzhab dalam syafi'iyah bahkan para Ashab Syafi'i mengatakan sebabnya beliau berfatwa dengan yg jadid seperti yang mereka katakan padahalkan seharusnya mereka yang lebih tahu. Bahkan ketika sebagian dari mereka lebih mengedepankan qoul qodim karena dalilnya lebih unggul, mereka tidak menisbatkan qoul tersebut pada madzhab Syafi'i tetapi dengan sebutan ikhtiyar imam fulan (pilihan imam fulan).

4. Para Imam madzhab dengan tegas melarang untuk bertaqlid dengan madzhab qodim meskipun si muqollid merupakan penduduk Irak. Kok bisa-bisanya loh mereka mengklaim bahwasanya perpindahan qoul qodimnya itu disebabkan karena berbedanya lingkungan dan sikon masyarkat?

5. Kalau seumpamanya bener apa yang mereka klaim, Maka seharusnya para penganut madzhab syafi'i di luar Mesir tidak akan menganut apa yang difatwakan di Mesir, namun kenyataannya semua penganutnya baik ulama ataupun bukan mereka mengamalkan apa yang difatwakan di Mesir bahkan penduduk Iraknya sendiri. 
Oleh karena itu Imam Nawawi berkata dalam kitab Majmu'nya (1/66): 
(كل مسألة فيها قولان للشافعي رحمه الله قديم وجديد، فالجديد هو الصحيح وعليه العمل)
"Setiap Permasalahan yang mempunyai dua Qoul yaitu Qodim dan Jadid maka yang benar adalah Qoul Jadid dan ini yang harus diamalkan".

Kesimpulannya: 
Meskipun seorang mujtahid itu harus mengetahui kondisi zaman, karakteristik dan sosial lingkungan masyarakat, namun fatwa dan ijtihad tidak berdasarkan  hal itu saja, sehingga menjadikan syari’at Islam itu bersifat parsial padahal syari’at Islam itu bersifat Universal, melainkan harus berdasarkan metode ijtihad dan kaidah-kaidah ushul yang berlaku.

Ternyata Klaim ini bertujuan untuk mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan hawa nafsu saja namun dinisbat kan kepada Seorang Imam Madzhab untuk menutupi kebusukannya

About the author

Admin
IT

Post a Comment

Komentarmu adalah cerminan dirimu