Penerapan Qowa’id Al-fiqhiyyah Terhadap Pengeras Suara

Oleh: Muhammad Acef Ainul Yaqin

Dalam artikel ini, penulis akan mencoba mengeloborasi tentang penerapan Qowa’id Al-fiqhiyyah terhadap pengeras suara. Dengan menggunakan beberapa Qowa’id Al-fiqhiyyah yang memungkinkan bisa diterapkan dan bisa mengatahui status hukum penggunaan alat  pengeras suara (speaker/mikrofon). diantaranya :  

Kaidah Fiqih الأمور بمقاصدها

‘’Setiap perkara itu tergantung dengan tujuan atau niatnya’’. Maksud dari kaidah ini adalah bahwa hukum yang menjadi konsekuensi atas setiap perkara atau perbuatan itu harus selalu sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari perkara tersebut. Bila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara atau pekerjaan itu adalah hal yang haram, meskipun terlihat baik. Maka hukum perkara atau pekerjaan tersebut haram. Sebaliknya, apabila yang menjadi tujuan atau maksud dari suatu perkara atau pekerjaan itu adalah hal yang baik meskipun terlihat biasa-biasa saja, maka hukum perkara atau pekerjaan tersebut adalah halal. Intinya yang menjadi tolak ukurnya suatu perkara atau perbuatan itu adalah maksud, tujuan dan niatnya, apabila maksud, tujuan dan niatnya jelek maka berkonsekuensi kejelekan dan apabila maksud, tujuan dan niatnya baik maka berkonsekuensi kebaikan. Contoh menggunakan alat pengeras suara ketika adzan dengan bermaksud, bertujuan dan berniat memberitahu manusia akan masuknya waktu shalat, atau khutbah jum’at yang menggunakan pengeras suara dengan bermaksud supaya penyampaian khutbahnya terdengar oleh jamaah jum’at yang hadir, karena sang khatib mempunyai kewajiban untuk supaya memperdengarkan penyampaian khutbahnya. Yang kalau tidak, bisa berkonsekuensi dan mempengaruhi keabsahan khutbahnya. Menurut pandangan penulis itu semua merupakan maksud, tujuan dan niat yang baik. Maka memakai pengeras suara ketika khutbah dan adzan itu merupakan perkara atau perbuatan yang baik, maka hukumnya boleh dan halal.

Kaidah Fiqih اذا ضق الامر اتسع

‘’Apabila sesuatu menjadi sempit, maka cara pelaksanaannya menjadi leluasa’’. Maksud dari kaidah ini adalah apabila ada suatu kondisi yang dihadapi oleh mukalaf  menjadi sempit, maka cara pelaksanaannya menjadi lebih leluasa. Apabila mukallaf mengalami kesempitan atau kesukaran dalam menjalankan suatu aturan hukum islam maka dengan memakai kaidah fikih ini ia berhak mendapatkan keringan dan kelonggaran (rukhsah) tapi dengan alasan-alasan tertentu. Kaidah ini merupakan kaidah turunan dari salah satu kaidah kubra yang lima yaitu dari kaidah المشقة تجلب التيسر sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, sesuai dengan kaidah pokoknya kaidah اذا ضق الامر اتسع ini dapat dipakai ketika seseorang sedang berada dalam keadaan masyaqqah (kesulitan). Contohnya dalam kontek ini seperti muadzin, khotib atau orang yang sedang menyampaikan ceramah. Muadzin tujuannya memberi tahu datangnya waktu shalat berarti suaranya harus terdengar oleh orang lain yang ada dikampung atau wilayah tersebut, begitupun khotib dan penceramah, penyampaian khutbah dan ceramahnya harus terdengar oleh jamaah jum’atnya minimal yang 40 orang dan orang-orang yang hadir ditempat tersebut seperti dalam acara tabligh akbar yang jamaahnya sangat banyak. Sedangkan melihat keadaan sekarang terlebih diperkotaan dengan banyaknya alat tranfortasi, pabrik-pabrik dan kegiatan-kegiatan lainnya yang membuat bising, hal ini setidaknya bisa menjadi kendala tidak terdengar penyampaian khotib dan penceramah. Maka ketika dalam keadaan masyaqoh (kesulitan) seperti ini boleh menggunakan alat pengeras suara yang hukumnya masih belum ada ketetapannya dalam ilmu syara’

Kaidah Fiqih لا ينكر تغير الأحكام بتغير الزمان

‘’Tidak dipungkiri hukum akan berubah disebabkan perubahan zaman’’. Maksud dari kaidah ini adalah bahwasannya hukum-hukum syariat yang bersipat ijtihadi seperti hukum fiqih, itu akan berubah disebabkan perubahannya tempat, keadaan dan zaman. Akan tetapi yang dimaksud berubah disini adalah berubah cara atau praktek dan pengamalannya saja yang dapat mendorong kepada hukum ketika berbeda tempat, keadaan dan zaman. Adapun nash’nya secara dzatiyah masih tetap dan tidak berubah. Contohnya seperti pelaksanaan adzan. Syari’at yang bijaksana yang keluar dari lisan Rasulullah SAW menganjurkan untuk mengeraskan suara ketika adzan dan menyampaikan suaranya sampai jauh dan menganjurkan untuk menempati tempat yang tinggi seperti menara, selain itu juga dianjurkan juga untuk meletakan dua jari telujuk pada dua telinga yang hukum keduanya adalah sunat dengan tujuan agar suara yang dihasilkan bisa didengar dari jarak yang jauh. Kemudian pada zaman sekarang seiring dengan perkembangannya zaman ditemukanlah  alat pengeras suara (speaker/mikrofon) sehingga ketika adzan tidak perlu ketempat yang tinggi (menara) cukup hanya dengan menggunakan pengeras suara (speaker/mikrofon) dan kemudian melantunkan adzan dengan suara indahnya dan terdengarlah suaranya keseluruh komplek yang ada. Akan tetapi ketika tidak memakai pengeras suara maka kesunahan-kesunahan adzan yang tadi seperti memilih tempat yang tinggi seperti (menara), meletakan dua jari telujuk pada dua telinga dan yang lainya itu menjadi sunat kembali karena الحكم يدور مع علته وجودا وعدما  Maka berdasarkan pada kaidah diatas menggunakan alat pengeras suara ketika adzan hukumnya adalah sunat, karena yang menjadi maksud utama dari adzan itu adalah الإبلاغ (sampainya seruan adzan kepada orang yang jauh). 

Kaidah Fiqih الأصل فى الاشيآء الإباحة 

‘’Hukum asal segala sesuatu adalah boleh’’. Maksud dari kaidah ini adalah bahwa segala sesuatu pada dasarnya adalah boleh. Namun terkait kaidah ini memang masih terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai asal hukum sesuatu itu. Akan tetapi mayoritas ulama syafi’iyah menyatakan bahwa hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh (halal), selama belum ada dalil yang mengharamkan. Beberapa ulama dari kalangan madzhab hanafiyah berpendapat bahwa hukum asal segala sesuatu adalah haram, selama tidak ada dalil yang menghalalkan. Dan adalagi golongan ulama lainya yang bersikap diam seputar masalah ini, mereka tidak mengtakan halal atau haram. Dari ketiga pedapat tersebut tentu memiliki argumen masing-masing baik berdasarkan Al-Qur’an maupun Hadits. Dalam kontek ini karena kita mayoritas bermadzhab syafi’i maka kita menghukumi asal segala sesuatu itu adalah boleh baik berupa binatang, benda-benda, tumbuhan-tumbuhan, makanan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan dalam dalil syara’ maka hukumnya adalah boleh. Dengan demikian pangkal segala sesuatu itu adalah boleh. Contoh misalnya hukum menggunakan alat pengeras suara (speaker/mikrofon) secara spesifik Al-Qur’an dan sunnah belum menyinggung masalah ini, sebab speaker ini  timbul dengan adanya penemuan baru akibat kemajuan ilmu dan teknologi (iptek). Maka oleh karena itu dengan berlandaskan kaidah fikih ini hukum menggunakan pengeras suara adalah boleh (mubah).

Kaidah Fiqih مالا يتم الواجب الا به فهو واجب

‘’Sesuatu yang tidak dapat menyempurnakan kewajiban kecuali dengannya maka sesuatu itu juga berhukum wajib’’. Maksud dari kaidah ini adalah setiap sesuatu, yang mana sesuatu tersebut bisa menyempurnakan dan merealisasikan suatu kewajiban. Dan kewajiban itu tidak akan sempurna terkecuali harus dengan sesuatu tersebut, maka sesuatu itu juga hukumnya menjadi wajib. Contoh seperti penyampaian khutbah jum’at dari sang khatib yang mempunyai kewajiban harus memperdengarkannya kepada semua jamaah yang hadir. Sedangkan pada zaman sekarang terlebih diperkotaan dikarenakan banyaknya alat transfortasi dan pabrik-pabrik yang membuat kebisingan, ditambih lagi dengan keadaan sang khatib yang sudah tua suaranya kurang lantang membuat penyampaian khutbahnya tidak terdengar oleh jamaah. Akan tetapi kalau memakai pengeras suara penyempaian khutbahnya jadi terdengar dan rukun-rukun serasa sempurna, dengan seperti itu pengeras suara ini menjadi penyempurna untuk menyampaian khutbah jum’at. Maka oleh karena itu memakai pengeras suara (speaker/mikrofon) ketika dalam keadaan seperti itu, hukumnya menjadi wajib. Sedangkan apabila hal tersebut sudah bisa terlaksana dengan tampa menggunakan pengeras suara, maka penggunaan pengeras suara tersebut hukumnya sunnah untuk menambahkan faidah pembacaan khutbah dan kesempurnaan tujuanya khutbah agar bisa didengar semua jamaah yang hadir.

Kaidah Fiqih الألة لا تنط بالحكم

‘’Suatu alat itu tidak ada kaitan dengan hukum’’. Maksud dari kaidah fiqih ini adalah bahwa suatu alat itu tidak bisa tertempel oleh hukum, misalkan seperti pengeras suara (speaker/mikrofon). Speaker itu merupakan sebuah alat untuk mengeraskan suara, maka speaker itu secara dzatiyah tidak mempunyai hukum dan tidak ada kaitannya dengan hukum, soalnya apabila alat ada kaitannya dengan hukum akan terjadi masaqat’ (kesukaran). Seperti contoh kita mendengar adzan dalam radio yang dikumandangkan dijakarta sedangkan kita sedang dibogor, apabila alat tersebut bisa ditempeli oleh hukum maka kita harus berangkat ke jakarta. Akan tetapi menurut ulama usul fiqih apabila alat itu digunakan oleh seorang mukalaf  sebagai sarana untuk menyempurnakan suatu tujuannya maka alat/sarana tersebut bisa mempunyai hukum, dengan disamakan hukumnya seperti hukum tujuan tersebut. Apabila jadi penyempurna untuk tujuan yang wajib, maka hukum memakai alat/sarana tersebut menjadi wajib dan tujuan-tujuan yang lainnya. Sebagaimana pendekatan kaidah fiqih yang nanti penulis akan paparkan setelah ini.

Kaidah Fiqih للوسائل حكم المقاصد 

‘’Hukum wasilah/sarana itu sama dengan hukum tujuannnya’’. Maksud dari kaidah fiqih ini adalah bahwa bagi sarana-sarana itu hukumnya sama dengan hukum tujuannya. Maka oleh karena itu bisa difahami bahwa setiap sarana yang bisa menyampaikan pada tujuan yang wajib, maka setatus hukum sarana tersebut menjadi wajib. Apabila bisa menyampaikan pada tujuan yang sunnah, maka hukum sarana tersebut menjadi sunah. Apabila bisa menyampaikan pada tujuan yang dimakruhkan, maka setatus hukum sarana tersebut menjadi makruh dan apabila bisa menyampaikan pada tujuan yang diharamkan, maka hukum sarana tersebut menjadi haram. Contohnya seperti penggunaan alat pengeras suara (speaker/mikrofon) dalam hal mengumandangkan adzan dan khutbah jum’at. Berarti dalam kontek ini speaker merupakan sarananya, dan adapun tujuannya sesuai dengan tujuan adzan, ialah untuk menyampaikan atau memberitau kepada orang-orang akan sudah masuknya waktu shalat yang hukumnya adalah sunnah, maka hukum sarana (menggunakan alat pengeras suara) itu juga dihukumi sunnah. Begitupun dalam penyempaian khutbah yang hukum wajib, maka hukum sarana (menggunakan alat pengeras suara) itu juga wajib. Dan ibadah-ibadah yang lain yang menggunakan pengeras suara itu hukum penggunaannya disamakan dengan hukum tujuannya. Wa’llahu alam bi shawab 

About the author

Admin
IT

Post a Comment

Komentarmu adalah cerminan dirimu