Seperti anak sekolah sekarang pada umumnya, Romo (KH.Sahlan) mengaji pada saudara sendiri sampai menjelang dewasa, lalu Romo (Kh.Sahlan) mendalami ilmu agama di Pondok Pesantren Di desa Mindi Porong Sidoarjo pada Kyai Marzuki, Romo santri yang sangat taat dan patuh pada gurunya sehingga dia menjadi santri yang sangat disayangi oleh Kyai Marzuki dan namanyapun diganti oleh gurunya yang asalnya Romo menjadi Sahlan.
Mbah Sahlan kemudian dinikahkan oleh gurunya dengan keponakannya sendiri akan tetapi tidak dikarunia anak dan kemudian Mbah Sahlan atas perintah Gurunya Untuk menceraikannya.
Kemudian Mbah Zahlan mendalami ilmu agama lagi di Pondok Al-Khozini di Panji Buduran Sidoarjo Pada Kyai Khozini.
AJARAN RIYADHOH Mbah KH. SAHLAN THOLIB
"Bakale teko mongso, wong pinter kurang riyadloh lan tirakate. Onoke wong pinter sing minteri." (Akan tiba zaman, orang pandai kurang riyadloh dan tirakat. Yang ada orang pandai suka minteri), Ucap Mbah Dullah Ponpes Mambaul Hisan Kalipucung Blitar, disela-sela silaturrahmi lebaran, mengisahkan kembali dawuh Gurunya, KH. Sahlan Sidorangu Krian.
Banyak santri yang diarsiteki oleh KH. Sahlan menjadi Ulama Ahli riyadhoh yang disegani, seperti Abah Thoyyib Krian, Mbah 'Ud Pagerwojo, Gus Ali Muhammad (Karib Gus Miek) Tropodo, WALIYULLOH Mbah KH. MUHSIN SYAFI'I Malang (Waqiila) adalah bukti kesuksesan KH. Sahlan mencetak generasi unggul yang gigih riyadhoh dan tirakat. Pembentukan jiwa tangguh "gak kedonyan"(tidak gila dunia) pada santri benar-benar diterapkan. Suatu misal, Abah Thoyyib Sumengko Krian, awal mula "nyantri" ke KH. Sahlan, langsung diuji untuk meninggalkan "Duniawi"nya (Kekayaan, jabatan). Padahal Abah Thoyib kala itu merupakan pejabat desa (konon sebagai lurah/camat) yang dihormati.
Dengan penuh takdzim, Abah Thoyyib melepaskan belenggu "duniawi"nya, serta mengajak istrinya ikut menyelam dunia riyadhoh. Abah thoyib pun mendermakan seluruh hartanya untuk umat Islam.
Kemudian, Abah Thoyib berjalan kaki meniti ajaran tasawuf dibawah bimbingan KH. Sahlan. Laku spiritual seperti inilah yang memunculkan konsep "Sabar, Neriman, Loman, Akas, Temen, Ngalah".
KH. Sahlan Sidorangu memiliki wadzifah (kebiasaan/laku) puasa daiman (selama hidupnya). Dimana, "pengendalian" hawa nafsu dikucuri oleh nilai-nilai sufistik. Tak pelak, riyadhoh ala KH. Sahlan diadopsi oleh Abah Thoyib dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya adalah Puasa daiman, Tidak suka Marung (makan di Warung), Sholat Dhuha setiap pagi hingga puluhan rakaat, Sholat sunnah Rawatib qabliyah ba'diyyah, Tahajjud yang kesemuanya itu terangkai menjadi kegiatan rutin harian sunnah, namun berbobot layaknya ibadah wajib.
Pesan KH. Sahlan yang disampaikan kepada Abah Thoyyib hingga dikemudian hari dituturkan kepada santri-santri beliau adalah "Langgengno kebiasaan apike leluhurmu" (lestarikan kebiasaan baik pendahulumu). Dalam artian: kebiasaan berpuasa sunnah senin-kemis, kebiasaan sedekah, kebiasaan sholat sunnah, wirid, sholawat, mengaji, mbangun masjid, bercocok tanam, berbuat baik dan bermanfaat untuk orang lain harus dilestarikan dan digetok-tularkan. KH. Sahlan wafat kira-kira tahun 1972-an dan dimakamkan di Sidorangu Krian. Menurut pendapat Cak Nun (Emha Ainun Najib) dalam pengajian maiyyah, salah satu karya fenomenal KH. Sahlan adalah Syiir tanpo wathon yang oleh sebagian masyarakat dinisbatkan kepada Gus Dur.
Walhasil, kebiasaan baik yang tersistemik dari para pendahulu, seyogyanya dilanjutkan, dilestarikan dan ditularkan kepada generasi selanjutnya. Dalam rangka membentuk putra putri yang merawat tradisi para sesepuh bernaskan ahlussunnah wal jamaah annahdiyyah.
Kemudian Mbah Zahlan mendalami ilmu agama lagi di Pondok Al-Khozini di Panji Buduran Sidoarjo Pada Kyai Khozini.
AJARAN RIYADHOH Mbah KH. SAHLAN THOLIB
"Bakale teko mongso, wong pinter kurang riyadloh lan tirakate. Onoke wong pinter sing minteri." (Akan tiba zaman, orang pandai kurang riyadloh dan tirakat. Yang ada orang pandai suka minteri), Ucap Mbah Dullah Ponpes Mambaul Hisan Kalipucung Blitar, disela-sela silaturrahmi lebaran, mengisahkan kembali dawuh Gurunya, KH. Sahlan Sidorangu Krian.
Banyak santri yang diarsiteki oleh KH. Sahlan menjadi Ulama Ahli riyadhoh yang disegani, seperti Abah Thoyyib Krian, Mbah 'Ud Pagerwojo, Gus Ali Muhammad (Karib Gus Miek) Tropodo, WALIYULLOH Mbah KH. MUHSIN SYAFI'I Malang (Waqiila) adalah bukti kesuksesan KH. Sahlan mencetak generasi unggul yang gigih riyadhoh dan tirakat. Pembentukan jiwa tangguh "gak kedonyan"(tidak gila dunia) pada santri benar-benar diterapkan. Suatu misal, Abah Thoyyib Sumengko Krian, awal mula "nyantri" ke KH. Sahlan, langsung diuji untuk meninggalkan "Duniawi"nya (Kekayaan, jabatan). Padahal Abah Thoyib kala itu merupakan pejabat desa (konon sebagai lurah/camat) yang dihormati.
Dengan penuh takdzim, Abah Thoyyib melepaskan belenggu "duniawi"nya, serta mengajak istrinya ikut menyelam dunia riyadhoh. Abah thoyib pun mendermakan seluruh hartanya untuk umat Islam.
Kemudian, Abah Thoyib berjalan kaki meniti ajaran tasawuf dibawah bimbingan KH. Sahlan. Laku spiritual seperti inilah yang memunculkan konsep "Sabar, Neriman, Loman, Akas, Temen, Ngalah".
KH. Sahlan Sidorangu memiliki wadzifah (kebiasaan/laku) puasa daiman (selama hidupnya). Dimana, "pengendalian" hawa nafsu dikucuri oleh nilai-nilai sufistik. Tak pelak, riyadhoh ala KH. Sahlan diadopsi oleh Abah Thoyib dalam kehidupan sehari-hari. Diantaranya adalah Puasa daiman, Tidak suka Marung (makan di Warung), Sholat Dhuha setiap pagi hingga puluhan rakaat, Sholat sunnah Rawatib qabliyah ba'diyyah, Tahajjud yang kesemuanya itu terangkai menjadi kegiatan rutin harian sunnah, namun berbobot layaknya ibadah wajib.
Pesan KH. Sahlan yang disampaikan kepada Abah Thoyyib hingga dikemudian hari dituturkan kepada santri-santri beliau adalah "Langgengno kebiasaan apike leluhurmu" (lestarikan kebiasaan baik pendahulumu). Dalam artian: kebiasaan berpuasa sunnah senin-kemis, kebiasaan sedekah, kebiasaan sholat sunnah, wirid, sholawat, mengaji, mbangun masjid, bercocok tanam, berbuat baik dan bermanfaat untuk orang lain harus dilestarikan dan digetok-tularkan. KH. Sahlan wafat kira-kira tahun 1972-an dan dimakamkan di Sidorangu Krian. Menurut pendapat Cak Nun (Emha Ainun Najib) dalam pengajian maiyyah, salah satu karya fenomenal KH. Sahlan adalah Syiir tanpo wathon yang oleh sebagian masyarakat dinisbatkan kepada Gus Dur.
Walhasil, kebiasaan baik yang tersistemik dari para pendahulu, seyogyanya dilanjutkan, dilestarikan dan ditularkan kepada generasi selanjutnya. Dalam rangka membentuk putra putri yang merawat tradisi para sesepuh bernaskan ahlussunnah wal jamaah annahdiyyah.